MEREKREASI BENTUK PUISI

Kedudukan karya sastra terkembalikan pada tempatnya semula oleh pendekatan struktural. Karya sastra bagi pendekatan struktural adalah dunia imajinatif yang menawarkan suatu alternatif kehidupan manusia melalui strukturnya. Bertolak dari pengertian bahwa facts adalah states of affairs maka segala sesuatu itu hanya akan dapat diketahui maknanya secara utuh apabila unsur-unsurnya disalingkaitkan satu dengan lainnya (Scholes, 1997:4). Penganalisis karya sastra yang bertolak dari pandangan strukturalisme menganggap bahwa pengungkapkan secara gambalang dan sistematik dari apa yang diperoleh pembaca melalui proses yang dilewati memperoleh porsi yang besar (bandingkan, Culler, 1975 : 118-119). Kemampuan untuk dapat bertindak demikianlah yang oleh Culler disebut sebagai literary compentence. yang akan dapat diperoleh seseorang apabila dia telah memiliki internalized grammer (istilah Culler), yang dapat  diartikan secara lebih luas dan teradaptasi sebagai kaidah kebahasaan yang sudah dihayati, tentu saja kaidah kebahasaan sastra sebagai sistem lambang lapis kedua. Sistem pendekatan struktural sebenarnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada apa yang tersaji dalam karya sastra. Asosiasi komunitas sastra tentang pendekatan struktural sebagai padanan pendekatan objektif agaknya perlu diluruskan.  Pengguna pendekatan struktural tidak perlu menolak untuk disebut sebagai penafsir karena takut dituduh rancu dengan pengguna hermeneuetik. Secara sistemik hermeneutik melekat pada pendekatan struktural karena sistem bahasa sastra adalah sistem bahasa lapis kedua. Pernyataan bahwa puisi…  hanya dapat kita artikan dengan memakai kata-kata yang dipakai dalam sajak itu sendiri menghubungkannya dengan fakta-fakta nyata di luar dunia sajak itu jelas dapat menyesatkan kita sebagai pembaca (Teeuw, 1981:48) harus kita kritisi.

Demikianlah, otonomi dunia sastra mendapat tekanan kuat dalam pendekatan ini. Sampai di sini tentunya timbul suatu pertanyaan : Bagaimanakah caranya melakukan pendekatan struktural itu ? Untuk menjawab pertanyaan itu marilah kita kembalikan lagi pada konsep Scholes tentang sistem.

Dari konsep itu dapatlah diketahui bahwa pembaca diwajibkan secara aktif membangun hubungan-hubungan yang saling menyesuaikan secara klausal sehingga menemukan suatu coherent system.  Strukturalisme memang  hadir untuk menjawab kerinduan kita terhadap coherent system tersebut sehingga sebagai konsekuensinya kita akan menemukan pula unification suatu objek. Apa yang harus dicari untuk dihubungkan adalah unsur-unsurnya, yang terkadang disebut elemen, device  bahkan konvensi (lihat Teeuw, 1981:48-54, Culler, 1975:120 dan Daiches, 1956 : 160-161).

Selanjutnya, dari hubungan kausal antar unsur itu akan tercipta suatu suasana tertentu yang disebut estetika (lihat Bakdi Soemanto, 1983 : 10), dan inilah yang dimaksud dengan istilah unification atau literariness, menurut istilah kaum formalis Rusia. Sekali lagi, perlu diingat bahwa unsur-unsur yang harus dicari hubungan kausalnya menurut faham struturalisme adalah unsur-unsur intrinsik, kata-kata atau tanda-tanda yang tertulis dalam karya yang dihadapi. Oleh karena itu, satu aktivitas, dalam karya yang dikerjakan dalam membuat kritik struktural adalah close reading, membaca terus berulang kali, sampai tercipta suatu keakraban antara karya dengan  dirinya.

Dengan cara itu kita dapat menemukan unsur-unsur manakah yang dapat menciptakan suasana estetika. Tentu saja si (calon) pengalisis itu harus terlebih dahulu telah dibekali dengan teori sastra sesuai dengan genre sastra yang akan dianalisis. Contoh konkritnya, apabila dia sedang menghadapi sebuah puisi, dia harus sudah faham mengenai istilah-istilah metrum, persajakan, berbagai gaya bahasa, jenis-jenis puisi dan sebagainya. Demikian juga apabila yang dihadapinya sebuah novel atau drama. Unsur dari masing-masing genre tersebut harus telah  internalized di dalam dirinya.

Hanya dengan berbekal itulah seseorang akan berhasil menganalisis suatu karya sastra dengan menggunakan pendekatan struktural. Dan inilah yang dimaksud dengan istilah konvensi dalam pendekatan struktural.

Konsep pemikiran yang berdasar pada konvensi sastra itu memang sengaja dipertahankan oleh mereka yang menganut faham strukturalisme. Melalui penganalogian studi sastra dengan studi bahasa, Culler dengan tegas dapat menjelaskan keabsahan otonomi konvensi tersebut. Menurutnya, kalau suatu studi bahasa dalam menentukan benar-salahnya suatu kalimat, baik buruknya suatu ujaran, dapat bahkan memang harus hanya bertumpu pada aturan-aturan kebahasaan saja, tanpa memperhatikan situasi dan orang yang membuat rangkaian tersebut, mengapa dalam studi sastra tidak ? Apabila cara demikian itu sah dalam studi bahasa, maka dalam studi sastra pun harus pula sudah sah meskipun hanya bertumpu pada konvensi sastra yang berciri rekaan dan memiliki unsur-unsur seperti yang telah disebutkan (lihat Culler, 1975:119).

Melalui cara itu dua jenis kesalahan, Intentional fallacy dan affective fallacy (menurut istilah Wimsatt dan Beardsley), yang sering terjadi dalam memahami sastra akan dapat dihindari. Intentional fallacy adalah jenis kesalahan dikarenakan penganalisis terjebak dalam keinginan si pengarang. Dengan kata lain, keinginan si pengarang karya itulah yang digunakan untuk menilai baik-tidaknya atau  besar tidaknya suatu karya sastra. Padahal, tidak jarang terjadi suatu karya sastra itu sama sekali tidak baik estetikanya meskipun pengarangnya mempunyai keinginan atau maksud luar biasa hebatnya yang ingin disampaikan melalui karya tersebut. Dalam keadaan demikian, bagaimana mungkin karya itu akan dianggap besar ? Jelas tidak mungkin dan salah !

Memang benar, suatu karya sastra tidak ada tanpa dicipta oleh seorang pengarang. Selain itu, juga tidak salah apabila seorang pengarang mempunyai maksud tertentu dalam mencipakan suatu karya. Akan tetapi, sekali lagi, apabila dalam menciptakannya dia tidak mampu memenuhi persyaratan seni sastra, maka diapun gagal untuk dapat disebut sebagai seniman sastra.

Kesalahan kedua, affective fallacy, adalah kesalahan yang dibuat oleh penganalisis karena di dalam menilai suatu karya dia terjebak pada pertimbangan akibat atau pengaruh terhadap pembaca (baca : masyarakat) yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra tertentu. Sebagai suatu karya pembakar emosi, katakanlah puisi-puisi pamflet Rendra, misalnya, ia mungkin saja hebat. Padahal ungkapan seni sastra bukanlah semata-mata ungkapan politik atau seniman bukan pula semata-mata seorang agitator maka sudah tentulah keduanya harus mempunyai persyaratan konvensi yang berbeda pula (bandingkan, Teeuw, 1981:60).

Jadi, ringkasnya, sebagai seorang (calon) penganalisis karya sastra, seseorang harus sudah memahami konvensi yang membedakan antara ungkapan sastra dengan ungkapan selain sastra, baik dalam kaitannya dengan pengarang maupun dengan karya sastra yang diciptakannya hal yang menjadi persoalan sekarang, dasar apakah yang digunakan untuk merealisasikan pendekatannya dan bagaimana cara mengoperasikannya ? Di atas telah disebutkan bahwa pemahaman terhadap konsep yang membedakan antara ungkapan sastra dengan yang lain harus sudah dimiliki.

Selanjutnya, untuk operasionalnya berawal dari konsep ini, selanjutnya kita mencari fakta-fakta yang dimiliki oleh karya yang sedang kita hadapi seperti halnya serorang sejarawan dalam menafsirkan fakta-fakta sejarah, seorang kritikus sastra juga menghadapi kondisi yang jauh tidak berbeda. Maksudnya, fakta-fakta yang ditemukannya itu tidak akan berarti apa-apa selagi dia tidak menghubungkan fakta yang satu dengan lainnya. Perbedaan pokok memang terdapat yaitu bahwa sejarawan mengambil fakta dari peristiwa real dalam kehidupan sedangkan kritikus sastra mengambil data dari peristiwa real ciptaan pengarang yang sifatnya imajinatif.

Hal yang sulit bagi kritikus adalah tuntutan untuk menyatakan apa yang imajinatif itu menjadi seakan-akan real sehingga fakta-fakta yang diajukannya dapat dipertahankan dengan logis. Bagaimanapun juga, kritikus dituntut untuk menemukan hal yang baru dari karya yang dihadapi, tetapi yang baru itu tentu saja harus tidak bersifat perorangan. Dalam pengertian, setelah dianalisis dengan menggunakan penalaran tertentu, hubungan-hubungan fakta yang ditariknya harus dapat bersifat interpersonal. Seorang kritikus tidak dapat harus membuat keputusan dalam rangka menentukan mana fakta yang determinan dan mana yang tidak. Dia harus menunjukkan pada pembacanya pengaruh-pengaruh dari fakta yang dikemukakan itu benar secara logis yang implisit ada di adalam karya dan dapat diterima secara nalar pula oleh peminat (baca : pembaca) hasil kritiknya.

Oleh karena itu, cara yang terbaik bagi (calon) pembahas sastra adalah dengan mengasumsikan bahwa pengaruh-pengaruh fakta yang akan diuraikan itu telah dibayangkan bagi pembacanya. Selanjutnya, dia harus mempostulasikan suatu cara yang bersifat umum yang kemungkinan besar dapat menerangkan pengaruh-pengaruh tersebut bagi (calon) pembacanya. Dari apa yang dihasilkan seorang kritikus mungkin saja akan ada pembaca yang tidak setuju dengan proses penalaran yang diajukan.

Apabila hal ini terjadi, demikian Culler menegaskan dengan  mengambil pendapat Empson, maka tantangan bagi (calon) kritikus tersebut bahwa dia “must convince the reader that he knows what he is talking abaout”, dan dia “coax the reader into seeing which is experience; otherwise they will not seem to have anyting to do with each other” (dalam Culler, 1975: 125). Apa yang diuraikan terhadap karya yang bersangkutan, tetapi cukup dengan penerimaan pembaca kritik terhadap pengaruh-pengaruh yang telah dicoba untuk diterangkan dengan kasus yang lain. Jadi, ringkasnya, seorang (calon) kritikus harus mampu bernalar dengan jitu tentang uraian yang diajukan sehingga dapat diterima oleh yang lain. Dan ini mutlak kualitatif sifatnya, tidak dirumuskan dengan angka (bandingkan, Culler, 1975: 124-128).

Seorang ahli sastra yang mengawali sekaligus mengilhami pendekatan baru setelah kuatnya cengkeraman faham strukturalisme atau New Criticism adalah Jonathan Culler. Dia sendiri adalah seorang strukturalis yang kritis. Karena kekritisannya itulah dia dapat menilai, tidak hanya nilai positif yang dikandungnya, tetapi juga nilai-nilai negatif yang ditimbulkan oleh faham tersebut. Hal ini sudah mulai diungkapkannya ketika dia mengungkapkan teorinya tentang literary competence (kompetensi sastrawi).

Di dalam uraiannya mengenai masalah tersebut, Culler telah mengeluarkan suatu teori sastra dengan menempatkan karya sastra pada second-order semiotic system, yang disamping memperhatikan tatanan struktur yang ditampilkan juga mempertimbangkan kerangka konteks penjelas yang ada di balik struktur formalnya. Inilah yang harus dimiliki oleh seorang penganalisis karya sastra agar dapat berkompetensi sastrawi (lihat Culler, 1975: 113-160). Dengan demikian suatu komunikasi sastra dapat terjadi. Pendekatan demikian inilah yang kemudian dikenal sebutan pendekatan semiotik yang merupakan hasil dinamisasi atau perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pendekatan struktural.  Berkait dengan kegiatan merekreasi atau mengubah bentuk puisi yang juga disebut memarafrase puisi dikenal istilah teknis pembacaan puisi secara heuristik dan hermeneutik yang dapat digunakan sebagai langkah awal untuk melakukan kegiatan merekreasi puisi.

 

 

 

Kajian Strukturalistik, Heuristik, dan Hermeneutik

 

Kata ‘struktur’ dalam termi-nologi sastra, seperti telah dijelaskan, mempunyai arti sebagai kesatuan totalitas cipta sastra yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan sating memberi makna satu lama lain. Bagian-bagian dalam kesatuan itu melakukan regulasi diri, artinya yang satu berkaitan dan memberi makna kepada yang lain dan bagian-bagian itu hanya bermakna pada dan dalam totalitasnya (Waluyo, 1990: 153)

Kajian strukturalistik mendasar­kan telaah sastra pada konsep pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menekankan karya sastra sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom (Teeuw, 1984: 150). Hal ini selaras dengan ciri khas strukturalisme, yakni: anti kausal dam anti sejarah, artinya dalam menelaah karya sastra, kritikus tidak usah mempertimbangkan faktor kausal dam faktor sejarah (Waluyo, 1990: 153). Kritikus harus meberikan makna pada setiap aspek dan anasir karya sastra yang semuanya mendapat makna penuhnya dari fungsinya dalam totalitas karya tersebut (Teeuw, 1984:130)

Strukturalisme sebagai pendekatan memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi yang membangun karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Atar Semi, 1989/: 45). Hal ini berarti bahwa penelitian tentang sastra, atau katakanlah kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memprhatikan sastrawan dan atau penyair sebagai pencipta, pembaca sebagai penikmatnya, dan hal-hal yang disebut faktor ekstrinsik yang berada di luar karya itu sendiri.

Pendekatan strukturalisme juga melihat sastra dalam struktur kebudayaan secara menyeluruh. Dengan demikian sebuah karya sastra terdiri dari unsur-unsur struktural yang membentuk suatu organisasi yang sangat kompleks yang terdiri dari berbagai lapisan dengan aneka makna yang saling berkaitan.

Demikianlah, dengan mengacu pada pendapat-pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk memahami suatu sastra harus dimulai dari karya itu, sendiri sebagai struktur yang bersifat otonom, sebelum karya tersebut dihubungkan dengan unsur­unsur di luar dirinya. Sastra dinilai dalam hubungan sastranya terlebih dulu, dibebaskan dari hubungan dengan so­sialnya. Oleh karenanya kajian struk­turalistik dapat digunakan sebagai langkah awal memahami karya sastra.

Pendekatan heuristik berkait erat dengan pencarian arti (meaning) yang setiap karya sastra hanya satu pendekatan hermeneutik berkait erat dengan pencrian makna (significance) yang dalam setiap karya sastra berkemungkinan banyak. Dan kelahiran makna karya sastra senantiasa ber­hubungan dengan kelanjutan komunikasi antara arti karya sastra dengan seorang per seorang pembaca, antara arti dengan karya sastra dengan situasi sosial tertentu di lokal tertentu, maupun arti karya sastra dengan hal-hal tertentu lainnya.

Pendekatan heuristik meng­hendaki pembacaan puisi secara linier, sesuai dengan garis teksnya, dan dengan demikian maka bahasa puisi yang kita baca harus kita kembalikan ke struktur bahasa diskursif. Bahasa diskursif, teruarai panjang lebar, adalah kontraversi dari bahasa puisi yang konsentrif.

Pendekatan hermeneutik meng­hendaki penafsiran, sehingga makna puisi sudah barang tentu dipengaruhi persepsi pengetahuan dan pengalaman pembaca per pembaca, input lingkungan pembaca, perspektif atau bia dimensi kepentingn pembaca, dan hal-hal lain yang berasal dari faktor ekstrinsik puisi.

Uraian di atas berkesimpulan bahwa kajian strukturalistik menelaah struktur-diskursif ke-teks-an puisi untuk menemukan arti konteks, dan kajian hermeneutik menelaah makna puisi sesuai dengan dimensi dan konvensi sastra sebagai sistem semiotis.

Penjelasan ilustratif yang berorientasi pada puisi di bawah ini barangkali memperjelas pemahaman uraian konsep:

Padamu Jua

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

 

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

 

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

 

Di mana engkau

Rupatiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

 

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

 

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik, menarik ingin

Serupa dara di batik tirai

 

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu-bukan giliranku

Mati hari-bukan kawanku

 

Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi

 

Kajian struktural puisi dalam telaahnya atas puisi di atas akan menghasilkan kesimpulan yang berkait dengan tema, pengimajian, perasaan penyair, nada (tone) amanat, versifikasi (rima, ritma, metrum), dan hal-hai yang bersifat instrinsik lainnya.

Di antara sejumlah hasil telaahan strukturalistik atas puisi di atas kira-kira sebagai berikut:

Tuhan pada puisi di atas digambarkan sebagai kandil kemerlap, yang rnenjadi pelita jendela di malam gelap dan yang melambai penyair untuk pulang kepada-Nya dengan sabar dan setia.

Di samping itu, Tuhan dibanding­kan oleh penyairnya dengan seorang dara yang ada di baliktirai, yang selalu menarik perhatian orang yang mengetahuinya, serta menjadikan orang untuk berusaha mencarinya. Pada dasarnya sifat manusia ingin mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, yang hanya nampak atau kelihatan samar-samar. Apalagi yang hanya samar-samar nampak di balik tirai itu adalah seorang gadis, pasti siapapun ingin melihat lebih jelas. Demikian juga halnya dengan Amir Hamzah, karena merasa sulit untuk mendekati Tuhan meski dengan cara bagaimana juga, maka keinginannya tersebut justru semakin menguat.

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

 

Amir Hamzah sering juga mempergunakan gaya bahasa dengan maksud untuk mewujudkan kesegaran ucapan. Dan gaya bahasa yang sering dipergunakannya ialah gaya bahasa personifikasi. Selain untuk memperjelas, personifikasi membuat lukisan lebih hidup

 

Segala cintaku hilang terbang

(Baris kedua bait pertama)

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

(baris     ketiga bait kedua)

Hanya kata merangkai hati

(Baris     keempat bait keempat)

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

(baris kedua bait ketujuh)

 

Dengan personlfikasi tersebut, benda-benda yang dilukiskannya tampak hidup dan berjiwa, memberi kesegaran serta memperjelas maksudnya.

Puisi Amir Hamzah tersebut terdiri atas tujuh bait. Tiap bait terdiri atas empat baris atau link. Bait-bait tersebut tidak ada yang diakhiri dengan tanda titik (.), kecuali bait ketujuh sebagai bait peutup. Dan meskipun tiap baris atau larik diawali huruf besar (huruf besar biasanya memang dipergunakan sebagai pngawal kalimat baru misalnya saja pada bait pertama :

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

 

Baris-baris tersebut semuanya dimulai dengan huruf besar, meskipun tandatitik (.) dan kesemuanya merupakan satu kesatuan, karena apabila kita mengatakan dengan kalimat biasa, bentuk kalimatnya akan menjadi :

 

Sesudah habis kikis segala cintaku dan hilang terbang semuanya, maka aku pulang kembali kepadamu, seperti dahulu.

 

Demikian juga bait-bait lainnya, baris-baris atau larik-larik yang terdapat di dalamnya semua merupakan satu kesatuan.

Puisi Amir Hamzah tersebut bila kita amati bentuknya berbeda dengan puisi-puisinya yang lain, yang lebih banyak mendekati bentuk pantun ataupun syair, karena bentuk puisi “Padamu Jua” ini tidak mengikuti pola-pola tertentu, seperti pada pantun atau syair misalnya, yang selalu memakai pola-pola yang tetap, yakni :

 

  1. Tiap bait terdiri atas empat baris atau larik
  2. Tiap baris atau larik terdiri atas empat kata (tiap kata :: dua frase)
  3. Irama beralun dua
  4. Bersajak tetap; pantun sajaknya a b a b, syair sajaknya a a a a.

 

Dan pada puisi di atas, hanya bait kelima saja yang berpoia sajak seperti pantun, yaitu a b a b:

 

Engkau cemburu (a)

Engkau ganas (b)

Mangsa aku dalam cakarmu (a)

Bertukar tangkap dengan lepas (b)

 

Sedangkan bait-baitnya yang lain, sajaknya bebas, artinya tidak berpegang pada sesuatu pola tertentu. Hal ini jelas kepada kita, karena bila kita perhatikan secara keseluruhan, puisi tersebut bersajak sebagai berikut :

abcc aabc abbb abcd abab abcd aabb

Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa puisi Amir Hamzah tersebut sajaknya adalah bebas, karena tidak berpegang pada pola persajakan yang tetap. Dalam pembacaan heuristik karya sastra dibaca secara sealur tekstual, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa puisi bilamana perlu susunan baris puisi tersebut ada yang dibalik seperti susunan bahasa prosa, diberi tambahan kata sambung, diksi rumpangnya dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif, dan bilamana perlu di antara kata-kata dalam baris-barisnya diberi sisipan-sisipan kata dan atau kata-kata sinonimnya atau frasa sempit ataupun frasa luas yang diletakkan dalam tanda kurung, supaya artinya menjadi jelas.

Apabila pencarian arti puisi Padamu Jua kita tempuh melalui pembacaan heuristik dan pencarian maknanya melalui pembacaan hermeneutik, maka penjelasan ilustrasinya seperti berikut ini:

(Sesudah, suatu ketika pernah) habis (ter-) kikis (imanku). (Dan) segala cintaku (juga pernah) hilang (dan bahkan) terbang. (Tetapi Alhamdulillah, akhirnya) pulang kembali aku padamu seperti dahulu (lagi).

(Bagiku) kaulah kandil (=lentera yang) kemerlap (sekaligus juga merupakan) pelita (yang menyala di) jendela (hati) di (saat bagaikan) malam (yang sedang) gelap. (Engkau) melambai (mengundang dengan tangan kasih-Mu kepadaku untuk pulang) (dan aku pun) pulang (kepada-Mu walau secara) perlahan. (Kau dzat yang Maha) Sabar, dan setia selalu (ke-pada sifat Maha Pemurah-Maha Pengasih-Mu).

(Ada) satu (hal lain yang juga menggodaku) kekasihku. Aku (ini) manusia (yang me-) rindu (-kan) rasa (dan me-) rindu (-kan) rupa (=wujud)

Dimana engkau (?) Rupa tiada, suara sayup, hanya kata (pekabaran agama yang) merangkai (keyakinan tentang-Mu di-) hati (-ku).

Engkau (pernah terpikirkan olehku sepertinya) cemburu (akan kebahagiaanku). Engkau (pernah terpikirkan olehku sepertinya) ganas (=kejam). Aku (Kau) mangsa dalam cakar (kekuasanmu)-Mu. Bertukar (silih barganti kejadian aku Kau) tangkap (=sekap dalam penderitaan dan kemudian ) dengan (kekuasaan-Mu Kau)  lepas (-kan) kembali aku darinya).

(Cobaan-Mu kepadaku sempat membuat) nanar aku (aku nanar) (dan sempat pula membuat aku) gila (serta) sasar (sesat). (Namun Alhamdulillah rasa) sayang (-ku kepada-Mu akhirnya) berulang (kembali) (kucurahkan ke-) padamu jua. Engkau (memang dzat yang Maha) pelik (penuh misteri), /kemahamisteriusan-Mu senantiasa) menarik (ke-) ingin (-tahuanku) serupa (keinginantahuanku tentang) dara (yang beradab) di balik tirai (tabir atau selubung).

Kasih (-Mu senantiasa) sunyi (dari pamrih) (dan senantiasa setia) menunggu (siapa saja) seorang diri (=gaya bahasa personifikasi). (Tetapi biarlah segala sesuatu yang sudah berlalu itu), lalu waktu (=waktu yang sudah berlalu=inversi baris puisi) bukan giliranku (tidak mungkin bersamaku lagi) (dan) mati hari (hari yang sudah mati) bukan kawanku (juga tidak mungkin bersamaku lagi). Biariah terjadi apa yang terjadi).

Pencarian arti secara heuristik tersebut baru menjelaskan arti kebahasan puisi objek kajian. Makna puisinya harus dicari dengan pembacaan hermeneutik, pembacaan yang diberi tafsiran sesuai dengan tata aturan sastra sebagai sistem semiotik.

Pada awal membaca puisi di atas kita sudah dibuat bertanya, “Kepada siapa puisi itu ditujukan?” Siapakah ‘mu’ dalam puisi itu? Seseorang, kekasih, atau Tuhan? Kata ganti ‘mu’ yang dimaksud penyair ternyata adalah kata ganti Tuhan, meskipun penulisannya dengan huruf kecil. Judulnya kalau dipulangkan ke struktur heuristik adalah “(Akhirnya aku kembali) (ke-) Pada (-Mu) Jua”. Puisi “Padamu Jua” pada hakekatnya diciptakan oleh penyairnya untuk mendialogkan perasaannya kepada Tuhan.

Amir Hamzah membuka puisi “Padamu Jua” dengan pengakuan dan atau pengaduan kepada Tuhan tentang krisis keimanannya dan kecintaannya kepada Tuhan. la juga mengungkapkan rasa bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan pada akhirnya menghendaki dia kembali kejalan-Nya.

Bagi penyair Tuhan bagaikan lampu yang selalu menyala sehingga mampu menerangi hatinya yang gelap. Nyala pelita-Nya bagaikan tangan yang melambai memanggil penyair untuk datang kepada-Nya. Kemahapemurahan, Kemahapengasihan, Kemahasabaran Tuhan menjadikan Amir Hamzah secara perlahan tetapi pasti kembali ke jalan yang dikehendaki Tuhan.

Pengakuan berikutnya adalah bahwa sebagai manusia sesekali digoda kenakalan nurani pembayangannya tentang Tuhan yang antopomorf (semacam bersosok personofikasi) padahal Tuhan sesungguhnya berlainan dari segala yang dijadikan-Nya. Kata-kata pekabaran agamalah yang merangkaikan (menghubungkan) dirinya dengan Tuhan.

Amir Hamzah juga membuat pengakuan mengapa sebelumnya pernah mengalami krisis keimanan. Pada saat Amir Hamzah waktu itu berada dalam puncak kebahagiaan cintanya dengan seseorang tiba-tiba Tuhan mencabut kebahagiaannya itu. Karenanyalah kemudian muncul pikiran nakal Amir Hamzah yang menyatakan bahwa Tuhan : cemburu atas kebahagiaan Amir Hamzah, kejam, ganas, dan mempermainkan Amir Hamzah dalam cakarkekuasaan-Nya.

Cobaan Tuhan kepada Amir Hamzah menjadikan Amir Hamzah nanar, menjadikan Amir Hamzah gila, menjadikan Amir Hamzah sasar dan sesat. Dzat Tuhan selamanya penuh misted dan kehendak-Nya pun demikian juga. Kesadaran akan hal yang demikian menjadikan kecintaan Amir Hamzah kepada Tuhan pulih kembali. Kemahamisteriusan Tuhan selamanya memiliki daya tariktersendiri.

Hal penting yang harus diingat siapa saja, Kemahapemurahan, Kemahapengasihan, dan Kemahapengampunan Tuhan senaritiasa tanpa pamrih menunggu kebersadaran siapa saja. Kasih Tuhan senantiasa diberikan kepada siapa saja. Peristiwa yang sudah berlalu biarlah tetap berlalu dan tidak perlu dijadikan pembelenggu diri kita.

Mari kita simak contoh lain berikut:

 

Goenawan Mohamad:

 

Asmaradana

 

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,

karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah

pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti

yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

 

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta

nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semua disebutkan.

 

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok

pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

karena ia tak berani lagi

 

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.

Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.

Lewat remang dan kunang-kunang,

kau lupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

 

 

Langkah 1:  Pembacaan Secara Heuristik

Asmaradana ((Asmara=cinta, dana < dahana=api)

Ia (Damarwulan) (men-) dengar kepak sayap kelelawar

dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin (berada) pada (di musim) kemuning (kering).

Ia (men-)dengar resah kuda (kuda yang resah) serta langkah (bunyi keriut) pedati

Ketika (pada saat) langit (yang) bersih kembali menampakkan (gugus bintang) bimasakti yang jauh.

Tapi (walau) di antara mereka(berada) berdua, tidak ada (satupun) yang berkata-kata.

 

Lalu (kemudian) ia ucapkan perpisahan itu, (kemungkinan)kematian itu.

Ia (kemudian mencoba)melihat peta, (juga kemungkinan) nasib, (juga kemungkinan) perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semua disebutkan.

 

Lalu ia (menjadi) tahu (bahwa mungkin) perempuan itu (Anjasmara) tak akan menangis.

Sebab bila (kemudian) esok pagi pada (=di) rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

karena ia (Anjasmara) tak berani lagi (membayang-bayangkan kejadiannya)

 

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu (sebelum kita kenal, nircinta dan nirasmara).

Bulan pun (akan kembali tampak bergerak) lamban dalam angin, abai dalam  waktu.

Lewat remang (kegelapan) dan kunang-kunang,

kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu

(sambil membiarkan terjadi apa yang seharusnya terjadi).

 

Langkah 2:  Pembacaan Secara Hermeneutik

……………………………………………………………..

………………………………………………………………

……………………………………………………………….

 

Creative Commons License
MEREKREASI BENTUK PUISI by Suyitno is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Tinggalkan komentar